Kamis, 19 Juli 2012

UU no. 22 Tahun 2009 Tugas Rek-Lalu Lintas Pertama


BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu


Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 14

(1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan
semua wilayah di daratan.

(2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sesuai dengan kebutuhan.

     (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Nasional;

b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Provinsi; dan

c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Kabupaten/Kota.


Pasal 15

(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf a disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang
kegiatan berskala nasional.

(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Nasional memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda
transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan

d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.









Pasal 16

(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf b disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.

(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Nasional.

(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Provinsi memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
   menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
   Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda
   transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.


Pasal 17

(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala
kabupaten/kota.
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
         Jalan Nasional;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
        Jalan Provinsi; dan
e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
          Kabupaten/Kota memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
   menurut asal tujuan perjalanan lingkup
        kabupaten/kota;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
        Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan
        moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul
                   kabupaten/kota; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas
        kabupaten/kota.


Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
diatur dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas

Paragraf 1
Kelas Jalan


Pasal 19

(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan
pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan

b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu
terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.

(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang
dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran
lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
(delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;

b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu
lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling
tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;

c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu
seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan

d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar
melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter,
ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua
ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih
dari 10 (sepuluh) ton.

(3) Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat
ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8
(delapan) ton.

(4) Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan
prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur
dengan peraturan pemerintah.


Pasal 20
(1) Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan
oleh:
a. Pemerintah, untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d. pemerintah kota, untuk jalan kota.

(2) Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas
jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata
cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah







Paragraf 2
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan


Pasal 21

(1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang
ditetapkan secara nasional.

(2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan
permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan
jalan bebas hambatan.

(3) Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan
khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan
batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.

(4) Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas
hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam
puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah.


Pasal 22

(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan
laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.

(2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan
fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.

(3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi
Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau sesuai dengan kebutuhan.

(4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi
Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.

(5) Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

     (6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan
ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 23

(1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi
Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib
menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 24

(1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk
memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.

(2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang
rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu
pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas.


Pasal 25

(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum
wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang
cacat; dan
h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar
badan Jalan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.









Pasal 26

(1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan
kabupaten/kota dan jalan desa; atau
d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.

(2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.


Pasal 27

(1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu
disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume
Lalu Lintas.

(2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan
pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan
daerah.






Pasal 28

(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi
Jalan.

(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan
Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).













Bagian Ketiga
Dana Preservasi Jalan
Pasal 29


(1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi
Jalan harus dipertahankan.

(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi
Jalan.

(3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan
pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.

(4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna
Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.



Pasal 30

Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan
berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas,
transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.


Pasal 31

Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana
Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di
bidang Jalan.


Pasal 32

Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola
Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.
















Bagian Keempat
Terminal

Paragraf 1
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal


Pasal 33

(1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang
dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan
antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan
diselenggarakan Terminal.

 (2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.


Pasal 34

(1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan
dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.

(2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi
dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan
yang dilayani.






Pasal 35

Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal
barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 36

Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib
singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali
ditetapkan lain dalam izin trayek.












Paragraf 2
Penetapan Lokasi Terminal


Pasal 37

(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan
memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang
merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan
memperhatikan:
a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
         Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah
    Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah
    Kabupaten/Kota;

c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau
kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan
lintas;
d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau
pusat kegiatan;
e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f. permintaan angkutan;
g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan
   Angkutan Jalan; dan/atau
i. kelestarian lingkungan hidup.


Paragraf 3
Fasilitas Terminal


Pasal 38

(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan
fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan
keselamatan dan keamanan.
(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib
melakukan pemeliharaan.










Paragraf 4
Lingkungan Kerja Terminal


Pasal 39

(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang
diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.

(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan
digunakan untuk pelaksanaan pembangunan,
pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.

     (3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah
kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi.


Paragraf 5
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal

Pasal 40

(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
a. rancang bangun;
b. buku kerja rancang bangun;
c. rencana induk Terminal;
d. analisis dampak Lalu Lintas; dan
e. analisis mengenai dampak lingkungan.

(2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan; dan
c. pengawasan operasional Terminal.

Pasal 41


(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan
pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar
pelayanan yang ditetapkan.

(2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.











Paragraf 6
Pengaturan Lebih Lanjut


Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe,
penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan,
dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan
pemerintah.


Bagian Kelima
Fasilitas Parkir


Pasal 43

(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat
diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan
izin yang diberikan.

(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia berupa:
a. usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.

(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat
diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan
kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka
Jalan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas
Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara
penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur
dengan peraturan pemerintah.














Pasal 44

Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk
umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan
memperhatikan:
a. rencana umum tata ruang;
b. analisis dampak lalu lintas; dan
c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.


Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung

Pasal 45

(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan
    Angkutan Jalan meliputi:
a. trotoar;
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
d. Halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia
usia lanjut.
(2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan
jalan desa;
d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan
e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.


Pasal 46

(1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan,
pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak
swasta.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan,
pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis
fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
diatur dengan peraturan pemerinta





BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Didalam bab VI terdiri dari 6 BAGIAN yaitu :
1.  Bagian ke satu      è RENCANA INDUK JARINGAN LALU LINTAS
                       DAN ANGKUTAN UMUM.
Yang terdiri dari : 0 paragraf, dan 4 pasal
2.  Bagian kedua        è RUANG LALU LINTAS
Yang terdiri dari : 2 paragraf, dan 10 pasal
3.  Bagian ketiga       è DANA PRESERVASI
Yang terdiri dari : 0 paragraf, dan 4 pasal
4.  Bagian keempat      è TERMINAL
Yang terdir dari : 6 paragraf, dan 10 pasal
5.  Bagian kelima       è FASILITAS PARKIR
Yang terdiri dari : 0 paragraf, dan 2 pasal
6.  Bagian keenam       è FASILTAS PENDUKUNG
Yang terdiri dari : 0 paragraf, dan 2 pasal
Jadi total pasal adalah 32 pasal

KOMENTAR TENTANG UU NO. 22 TAHUN 2009 ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
BAGIAN I :
Pasal 14 è “Perlu disosialisasikan juga kepada masyarakat agar masyarakat tahu membedakan mana jalan nasional, mana jalan provinsi, dan mana jalan kota/ kabupaten.”
Pasal 15 è “Perlu lebih disosialisasikan lagi kepada masyarakat supaya pada saat pelaksanaan pembangunan dilaksanakan masyarakat tidak terkejut lagi atau memberontak pada saat ingin dipindahkan tempatnya karena mungkin tempatnya tersebut dapat mengganggu jalannya pelaksanaan.”
Pasal 16 è “selain mempertimbangkan kebutuhan lalu lintas dan angkutan jalan perlu juga memperhatikan kondisi lingkungan”.
Pasal 17 è “Perlu juga untuk memperhatikan jalan diwilayah-wilayah terpencil agar semua kawasan dapat dihubungkan.”
BAGIAN II :
Pasal 19 è “Masi banyak kelas-kelas jalan yang tidak dibuat sesuai dengan ayat 2 pasal 19 ini. Karena itu banyak jalan yang cepat rusak dan tidak layak dipergunakan lagi.”
Pasal 20 è “jangan sampai salah ambil bagian, contohnya pemerintah kota untuk jalan provinsi. Itu tentu saja sudah tidak sesuai lagi.”
Pasal 21 è “Hal ini sering dilanggar oleh pengendara. Penting untuk meningkatkan tindakan yang tegas. Mungkin juga peraturan ini dilanggar karena kurangnya rambu-rambu dijalan itu sendiri yang membuat pengendara kurang memperhatikan.”
Pasal 22 è “Banyak jalan yang tidak memenuhi persyaratan layak fungsi contohnya jalan yang berlubang-lubang. Kurangnya partisipasi masyarakat untuk ikut bersama-sama dalam merawat jalan dan perlengkapan jalan lainnya.”
Pasal 23 è “Preservasi jalan memang sangat perlu dilaksanakan, tetapi harus tetap menjaga keamanan, keselamatan, ketertipan, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan. Agar masyarakat pun merasa lebih nyaman dan tidak terganggu.”
Pasal 24 è “Sering kali hal-hal ini seperti kurang ditanggapi, banyak jalan yang rusak tapi lama untuk diperbaiki karena hal itu masyarakat jadi banyak yang mengeluh. Bahkan tidak jarang kecelakaan terjadi karena keterlambatan perbaikan jalan yang rusak.”
Pasal 25 è “Dibilang wajib padahal banyak jalan di jalan-jalan besar yang memiliki rambu-rambu yang tidak layak pakai lagi seperti lampu merah yang kadang mati, kadang hanya lampu hijau yang hidup terus, dan ada juga yang tidak beraturan waktunya. Akibat dari hal ini dapat menimbulkan kecelakaan dan kemacetan yang parah.”
Pasal 26 è “Penyediaan perlengkapan jalan ini kadang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur keteknisan dan kesannya semberaut.”
Pasal 27 è “Masi banyak perlengkapan jalan yang belum memadai di jalan pada umumnya.”
Pasal 28 è “Hal ini yang perlu lebih disosialisasikan lagi dengan masyarakat . Masyarakat harus menyadari bahwa jalan juga adalah milik mereka bersama. Sehingga ada kesadaran untuk sama-sama merawatnya ataupun tidak lagi merusaknya. Seperti membuang air pada jalan dengan cara sembarangan. Ini merupakan salah satu tindakan merusak jalan. Banyak masyarakat tidak mengetahui hal ini.”
BAGIAN III :
Pasal 29 è “kadang dana sering disalahgunakan. Dana sudah ada tapi kenapa masih banyak jalan yang kurang sekali pemeliharannya? Pelaksana seharusnya lebih bijak lagi dalam memanejemenkan dana.”
BAGIAN IV :
Pasal 33 è “Sebaiknya terminal lebih ditingkatkan lagi kenyamanannya.”
Pasal 36 è “Masih ada juga trayek yang melanggar ketentuan ini.”
Pasal 37 è “Seperti angkot, sering terjadi perdebatan serius antara trayek lama dan trayek baru karena lokasi terminalnya yang berdekatan. Hal ini pun perlu untuk dipertimbangkan agar tidak terjadi konflik antara trayek tersebut.”
Pasal 38 è “Kebanyakan fasilitas terminal kurang memadai untuk penumpang khususnya untuk kenyamanan.”
Pasal 39 è “Diperlukan keramahan bagi para pekerja di terminal agar masyarakat ataupun penumpang lebih merasa nyaman.”
Pasal 40 è “Banyak pembangunan terminal asal-asal dibangun apalagi sangat dekat dengan jalan raya sehingga menimbulkan kemacetan. Dan juga jadi dapat mengganggu kelancaran angkutan lainnya.”
Pasal 41 è “Standar pelayanan kadang tidak sepenuhnya terpenuhi.”


BAGIAN V
Pasal 43 è “Banyak parkir khususnya didaerah kota masih semberaut dan tidak mematuhi aturan. Akibat hal ini bisa terjadi kemacetan.”
Pasal 44 è “Sebaiknya area lokasi parkir dibuat khusus dan tidak dekat dengan jalan raya yang dipenuhi banyak kendaraan. Begitu juga lokasi parkir sebaiknya memiliki tempat akses masuk dan keluar yang lancar dan teratur.”
BAGIAN VI
Pasal 45 è “Sering sekali trotoar menjadi bahan perdebatan. Ada baiknya trotoar yang sudah direncanakan dengan baik dapat difungsikan sesuai dengan fungsinya. Tidak dipakai untuk hal-hal yang dapat merugikan pengguna jalan dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas. Seperti pedagang yang membuat lapaknya di trotoar. Satu hal lagi bahwa di negara ini kurangnya pemerintah untuk mengutamakan pengguna jalan dan sepeda. Hal ini dapat terlihat dari kemacetan yang ditimbulkan oleh padatnya kendaraan yang berlebihan, trotoar yang sudah dipenuhi oleh para pedagang, dan kurangnya fasilitas untuk pejalan kaki.
Pasal 46 è “Pemerintah dan pihak swasta harus memiliki kerja sama yang baik.”