BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 14
(1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
yang
terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu
Lintas
dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan
semua
wilayah di daratan.
(2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
Rencana
Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sesuai
dengan kebutuhan.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Nasional;
b.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Provinsi; dan
c.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Kabupaten/Kota.
Pasal 15
(1) Rencana
Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf
a disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan
kebutuhan transportasi dan ruang
kegiatan
berskala nasional.
(2) Proses
penyusunan dan penetapan Rencana Induk
Jaringan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Nasional
memuat:
a.
prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
menurut
asal tujuan perjalanan lingkup nasional;
b.
arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
Angkutan
Jalan nasional dalam keseluruhan moda
transportasi;
c.
rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan
d.
rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.
Pasal 16
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf
b disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan
kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan
Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana
Induk
Jaringan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan:
a.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Nasional.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Provinsi
memuat:
a.
prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
menurut asal tujuan perjalanan lingkup
provinsi;
b.
arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan
moda
transportasi;
c.
rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d.
rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.
Pasal 17
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat
(3) huruf c disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan
kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan
Jalan serta ruang kegiatan berskala
kabupaten/kota.
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana
Induk
Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
dengan memperhatikan:
a.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Nasional;
Jalan Nasional;
c.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d.
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Provinsi; dan
Jalan Provinsi; dan
e.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota memuat:
Kabupaten/Kota memuat:
a.
prakiraan perpindahan orang dan/atau barang
menurut asal tujuan perjalanan lingkup
kabupaten/kota;
kabupaten/kota;
b.
arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam
keseluruhan
moda transportasi;
c.
rencana lokasi dan kebutuhan Simpul
kabupaten/kota;
dan
d.
rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas
kabupaten/kota.
kabupaten/kota.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan
dan penetapan
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas
Paragraf 1
Kelas Jalan
Pasal 19
(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas
berdasarkan:
a.
fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan
pengaturan
penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu
Lintas
dan Angkutan Jalan; dan
b.
daya dukung untuk menerima muatan sumbu
terberat
dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2) Pengelompokan
Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a.
jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang
dapat
dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran
lebar
tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000
(delapan
belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200
(empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan
sumbu
terberat 10 (sepuluh) ton;
b. jalan
kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan
yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan
ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu
lima
ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
12.000
(dua belas ribu) milimeter, ukuran paling
tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan
sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. jalan
kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan
yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan
ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu
seratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
9.000
(sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
3.500
(tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan
sumbu
terberat 8 (delapan) ton; dan
d.
jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat
dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar
melebihi
2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter,
ukuran
panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua
ratus)
milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih
dari
10 (sepuluh) ton.
(3) Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan
kelas III
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat
ditetapkan
muatan sumbu terberat kurang dari 8
(delapan)
ton.
(4) Kelas jalan berdasarkan spesifikasi
penyediaan
prasarana
jalan diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan di bidang Jalan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas
khusus
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur
dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 20
(1) Penetapan kelas jalan pada setiap ruas
jalan dilakukan
oleh:
a.
Pemerintah, untuk jalan nasional;
b.
pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c.
pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d.
pemerintah kota, untuk jalan kota.
(2) Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dinyatakan
dengan Rambu Lalu Lintas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengelompokan kelas
jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata
cara
penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah
Paragraf 2
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan
Pasal 21
(1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan
paling tinggi yang
ditetapkan
secara nasional.
(2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan
permukiman,
kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan
jalan
bebas hambatan.
(3) Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan
khusus
lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan
batas
kecepatan paling tinggi setempat yang harus
dinyatakan
dengan Rambu Lalu Lintas.
(4) Batas kecepatan paling rendah pada jalan
bebas
hambatan
ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam
puluh)
kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas
kecepatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi
persyaratan
laik
fungsi Jalan secara teknis dan administratif.
(2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan
uji kelaikan
fungsi
Jalan sebelum pengoperasian Jalan.
(3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji
kelaikan fungsi
Jalan
pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala
dalam
jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau
sesuai dengan kebutuhan.
(4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana
dimaksud pada
ayat
(2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi
Jalan
yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
(5) Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana
dimaksud pada
ayat
(4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi
yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana
Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara
Republik
Indonesia.
(6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan
ditindaklanjuti
oleh penyelenggara Jalan, instansi yang
bertanggung
jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas
dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara
Republik
Indonesia.
(7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan
sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan
preservasi
Jalan
dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib
menjaga
Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan
kegiatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan
instansi yang bertanggung jawab di bidang
sarana
dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 24
(1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan
patut untuk
memperbaiki
Jalan yang rusak yang dapat
mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas.
(2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan
Jalan yang
rusak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara
Jalan wajib memberi tanda atau rambu
pada
Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya
Kecelakaan
Lalu Lintas.
Pasal 25
(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu
Lintas umum
wajib
dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a.
Rambu Lalu Lintas;
b.
Marka Jalan;
c.
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d.
alat penerangan Jalan;
e.
alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f.
alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g.
fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang
cacat; dan
h.
fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan
Angkutan
Jalan yang berada di Jalan dan di luar
badan
Jalan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
perlengkapan Jalan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan
pemerintah.
Pasal 26
(1)
Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a.
Pemerintah untuk jalan nasional;
b.
pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c.
pemerintah kabupaten/kota untuk jalan
kabupaten/kota
dan jalan desa; atau
d.
badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
(2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 27
(1)
Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu
disesuaikan
dengan kapasitas, intensitas, dan volume
Lalu
Lintas.
(2) Ketentuan mengenai pemasangan
perlengkapan Jalan
pada
jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan
daerah.
Pasal 28
(1) Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan
kerusakan dan/atau gangguan fungsi
Jalan.
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan
yang
mengakibatkan
gangguan pada fungsi perlengkapan
Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
Bagian Ketiga
Dana Preservasi Jalan
Pasal 29
(1) Untuk mendukung
pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi
Jalan
harus dipertahankan.
(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi
Jalan.
(3) Dana
Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan
pemeliharaan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.
(4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber
dari Pengguna
Jalan
dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 30
Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus
dilaksanakan
berdasarkan prinsip berkelanjutan,
akuntabilitas,
transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.
Pasal 31
Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit
pengelola Dana
Preservasi Jalan yang bertanggung jawab
kepada Menteri di
bidang Jalan.
Pasal 32
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja
unit pengelola
Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan
Presiden.
Bagian Keempat
Terminal
Paragraf 1
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal
Pasal 33
(1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang
dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan
antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan
diselenggarakan Terminal.
(2) Terminal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa
Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.
Pasal 34
(1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan
dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.
(2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi
dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan
yang dilayani.
Pasal 35
Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal
barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib
singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali
ditetapkan lain dalam izin trayek.
Paragraf 2
Penetapan Lokasi Terminal
Pasal 37
(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan
dengan
memperhatikan
rencana kebutuhan Terminal yang
merupakan
bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu
Lintas
dan Angkutan Jalan.
(2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan
dengan
memperhatikan:
a.
tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
b.
kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota;
c.
kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau
kinerja
jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan
lintas;
d.
kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau
pusat
kegiatan;
e.
keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f.
permintaan angkutan;
g.
kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h.
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; dan/atau
i.
kelestarian lingkungan hidup.
Paragraf 3
Fasilitas Terminal
Pasal 38
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib
menyediakan
fasilitas
Terminal yang memenuhi persyaratan
keselamatan
dan keamanan.
(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
meliputi
fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib
melakukan
pemeliharaan.
Paragraf 4
Lingkungan Kerja Terminal
Pasal 39
(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan
daerah yang
diperuntukkan
bagi fasilitas Terminal.
(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana
dimaksud pada
ayat
(1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan
digunakan
untuk pelaksanaan pembangunan,
pengembangan,
dan pengoperasian fasilitas Terminal.
(3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) ditetapkan dengan peraturan daerah
kabupaten/kota,
khusus Provinsi Daerah Khusus
Ibukota
Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi.
Paragraf 5
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal
Pasal 40
(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi
dengan:
a.
rancang bangun;
b.
buku kerja rancang bangun;
c.
rencana induk Terminal;
d.
analisis dampak Lalu Lintas; dan
e.
analisis mengenai dampak lingkungan.
(2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
a.
perencanaan;
b.
pelaksanaan; dan
c.
pengawasan operasional Terminal.
Pasal 41
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib
memberikan
pelayanan
jasa Terminal sesuai dengan standar
pelayanan
yang ditetapkan.
(2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana
dimaksud pada
ayat
(1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi,
klasifikasi, tipe,
penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan
kerja, pembangunan,
dan pengoperasian Terminal diatur dengan
peraturan
pemerintah.
Bagian Kelima
Fasilitas Parkir
Pasal 43
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum
hanya dapat
diselenggarakan
di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan
izin
yang diberikan.
(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar
Ruang Milik
Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan
oleh perseorangan warga negara Indonesia
atau
badan hukum Indonesia berupa:
a.
usaha khusus perparkiran; atau
b.
penunjang usaha pokok.
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik
Jalan hanya dapat
diselenggarakan
di tempat tertentu pada jalan
kabupaten,
jalan desa, atau jalan kota yang harus
dinyatakan
dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka
Jalan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna
Jasa fasilitas
Parkir,
perizinan, persyaratan, dan tata cara
penyelenggaraan
fasilitas dan Parkir untuk umum diatur
dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 44
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas
Parkir untuk
umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan
memperhatikan:
a.
rencana umum tata ruang;
b.
analisis dampak lalu lintas; dan
c.
kemudahan bagi Pengguna Jasa.
Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung
Pasal 45
(1) Fasilitas
pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan meliputi:
Angkutan Jalan meliputi:
a.
trotoar;
b.
lajur sepeda;
c.
tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
d.
Halte; dan/atau
e.
fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia
usia
lanjut.
(2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) diselenggarakan oleh:
a.
Pemerintah untuk jalan nasional;
b.
pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c.
pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan
jalan
desa;
d.
pemerintah kota untuk jalan kota; dan
e.
badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
Pasal 46
(1) Pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan,
pengelolaan,
dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu
Lintas
dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak
swasta.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembangunan,
pengelolaan,
pemeliharaan, serta spesifikasi teknis
fasilitas
pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
diatur dengan peraturan pemerinta
BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Didalam
bab VI terdiri dari 6 BAGIAN yaitu :
1. Bagian ke satu è RENCANA INDUK JARINGAN
LALU LINTAS
DAN ANGKUTAN UMUM.
Yang terdiri dari : 0 paragraf, dan 4 pasal
DAN ANGKUTAN UMUM.
Yang terdiri dari : 0 paragraf, dan 4 pasal
2. Bagian kedua è RUANG LALU LINTAS
Yang
terdiri dari : 2 paragraf, dan 10 pasal
3. Bagian ketiga è DANA PRESERVASI
Yang terdiri
dari : 0 paragraf, dan 4 pasal
4. Bagian keempat è TERMINAL
Yang terdir dari
: 6 paragraf, dan 10 pasal
5. Bagian kelima è FASILITAS PARKIR
Yang terdiri
dari : 0 paragraf, dan 2 pasal
6. Bagian keenam è FASILTAS PENDUKUNG
Yang terdiri dari : 0
paragraf, dan 2 pasal
Jadi
total pasal adalah 32 pasal
KOMENTAR TENTANG UU NO. 22 TAHUN 2009 ADALAH
SEBAGAI BERIKUT :
BAGIAN I :
Pasal
14 è “Perlu disosialisasikan juga kepada masyarakat agar masyarakat
tahu membedakan mana jalan nasional, mana jalan provinsi, dan mana jalan kota/
kabupaten.”
Pasal
15 è “Perlu lebih disosialisasikan lagi kepada masyarakat supaya
pada saat pelaksanaan pembangunan dilaksanakan masyarakat tidak terkejut lagi
atau memberontak pada saat ingin dipindahkan tempatnya karena mungkin tempatnya
tersebut dapat mengganggu jalannya pelaksanaan.”
Pasal
16 è “selain mempertimbangkan kebutuhan lalu lintas dan angkutan
jalan perlu juga memperhatikan kondisi lingkungan”.
Pasal
17 è “Perlu juga untuk memperhatikan jalan diwilayah-wilayah
terpencil agar semua kawasan dapat dihubungkan.”
BAGIAN II :
Pasal
19 è “Masi banyak kelas-kelas jalan yang tidak dibuat sesuai dengan
ayat 2 pasal 19 ini. Karena itu banyak jalan yang cepat rusak dan tidak layak
dipergunakan lagi.”
Pasal
20 è “jangan sampai salah ambil bagian, contohnya pemerintah kota
untuk jalan provinsi. Itu tentu saja sudah tidak sesuai lagi.”
Pasal
21 è “Hal ini sering dilanggar oleh pengendara. Penting untuk
meningkatkan tindakan yang tegas. Mungkin juga peraturan ini dilanggar karena
kurangnya rambu-rambu dijalan itu sendiri yang membuat pengendara kurang
memperhatikan.”
Pasal
22 è “Banyak jalan yang tidak memenuhi persyaratan layak fungsi
contohnya jalan yang berlubang-lubang. Kurangnya partisipasi masyarakat untuk
ikut bersama-sama dalam merawat jalan dan perlengkapan jalan lainnya.”
Pasal
23 è “Preservasi jalan memang sangat perlu dilaksanakan, tetapi
harus tetap menjaga keamanan, keselamatan, ketertipan, dan kelancaran lalu
lintas dan angkutan jalan. Agar masyarakat pun merasa lebih nyaman dan tidak
terganggu.”
Pasal
24 è “Sering kali hal-hal ini seperti kurang ditanggapi, banyak
jalan yang rusak tapi lama untuk diperbaiki karena hal itu masyarakat jadi
banyak yang mengeluh. Bahkan tidak jarang kecelakaan terjadi karena
keterlambatan perbaikan jalan yang rusak.”
Pasal
25 è “Dibilang wajib padahal banyak jalan di jalan-jalan besar yang
memiliki rambu-rambu yang tidak layak pakai lagi seperti lampu merah yang
kadang mati, kadang hanya lampu hijau yang hidup terus, dan ada juga yang tidak
beraturan waktunya. Akibat dari hal ini dapat menimbulkan kecelakaan dan
kemacetan yang parah.”
Pasal
26 è “Penyediaan perlengkapan jalan ini kadang dilakukan tidak
sesuai dengan prosedur keteknisan dan kesannya semberaut.”
Pasal
27 è “Masi banyak perlengkapan jalan yang belum memadai di jalan
pada umumnya.”
Pasal
28 è “Hal ini yang perlu lebih disosialisasikan lagi dengan
masyarakat . Masyarakat harus menyadari bahwa jalan juga adalah milik mereka
bersama. Sehingga ada kesadaran untuk sama-sama merawatnya ataupun tidak lagi
merusaknya. Seperti membuang air pada jalan dengan cara sembarangan. Ini
merupakan salah satu tindakan merusak jalan. Banyak masyarakat tidak mengetahui
hal ini.”
BAGIAN III :
Pasal
29 è “kadang dana sering disalahgunakan. Dana sudah ada tapi kenapa
masih banyak jalan yang kurang sekali pemeliharannya? Pelaksana seharusnya
lebih bijak lagi dalam memanejemenkan dana.”
BAGIAN IV :
Pasal
33 è “Sebaiknya terminal lebih ditingkatkan lagi kenyamanannya.”
Pasal
36 è “Masih ada juga trayek yang melanggar ketentuan ini.”
Pasal
37 è “Seperti angkot, sering terjadi perdebatan serius antara trayek
lama dan trayek baru karena lokasi terminalnya yang berdekatan. Hal ini pun
perlu untuk dipertimbangkan agar tidak terjadi konflik antara trayek tersebut.”
Pasal
38 è “Kebanyakan fasilitas terminal kurang memadai untuk penumpang
khususnya untuk kenyamanan.”
Pasal
39 è “Diperlukan keramahan bagi para pekerja di terminal agar
masyarakat ataupun penumpang lebih merasa nyaman.”
Pasal
40 è “Banyak pembangunan terminal asal-asal dibangun apalagi sangat
dekat dengan jalan raya sehingga menimbulkan kemacetan. Dan juga jadi dapat
mengganggu kelancaran angkutan lainnya.”
Pasal
41 è “Standar pelayanan kadang tidak sepenuhnya terpenuhi.”
BAGIAN V
Pasal
43 è “Banyak parkir khususnya didaerah kota masih semberaut dan
tidak mematuhi aturan. Akibat hal ini bisa terjadi kemacetan.”
Pasal
44 è “Sebaiknya area lokasi parkir dibuat khusus dan tidak dekat
dengan jalan raya yang dipenuhi banyak kendaraan. Begitu juga lokasi parkir
sebaiknya memiliki tempat akses masuk dan keluar yang lancar dan teratur.”
BAGIAN VI
Pasal
45 è “Sering sekali trotoar menjadi bahan perdebatan. Ada baiknya
trotoar yang sudah direncanakan dengan baik dapat difungsikan sesuai dengan
fungsinya. Tidak dipakai untuk hal-hal yang dapat merugikan pengguna jalan dan
tidak mengganggu kelancaran lalu lintas. Seperti pedagang yang membuat lapaknya
di trotoar. Satu hal lagi bahwa di negara ini kurangnya pemerintah untuk
mengutamakan pengguna jalan dan sepeda. Hal ini dapat terlihat dari kemacetan
yang ditimbulkan oleh padatnya kendaraan yang berlebihan, trotoar yang sudah
dipenuhi oleh para pedagang, dan kurangnya fasilitas untuk pejalan kaki.
Pasal
46 è “Pemerintah dan pihak swasta harus memiliki kerja sama yang
baik.”